novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Pernikahan kedua itu tidak pernah direncanakan.

“Ini takdir,” katanya,”Saya tidak pernah sengaja mencari istri lain.”

Saya diam saja. Tidak hendak berdebat soal itu.
Hanya setelah saya tanyakan kerepotan memiliki dua istri, ceritanya semakin menarik. Terakhir saya tanyakan apakah dia merasa lebih bahagia setelah menikah lagi?
Mendengar pertanyaan saya, lelaki bertubuh tinggi itu tampak termenung cukup lama sebelum menjawab,
“Yang sudah terjadi, tidak bolehlah kita sesali.” Menatap senyum getir lelaki itu, seketika ingatan saya terlempar pada kalimat terakhir Pak Haris, beberapa tahun lalu.

Seoul, 18 Agustus 2006
–o0o–

Cinta Perempuan Paling Cantik
“Sosok cantik itu tetap santun dan tak banyak bicara. Meladeni suami dan anak-anak seperti hari-hari sebelumnya.”

Dia adalah perempuan paling cantik yang pernah saya kenal. Kulitnya putih, wajahnya bersih seperti bayi, kecantikannya lengkap. Dia adalah perempuan terindah yang pernah saya temui. Kecantikan yang tidak pudar, meski usianya mencapai empat puluh lima.

Dua puluh lima tahun yang lalu, perempuan itu mengejutkan semua orang dengan pernikahan yang tiba tiba. Tidak ada yang menyangka cinta kanak-kanak sang perempuan akan bermuara selamanya, kepada lelaki yang sama.
Pernikahan yang indah. Laki-laki yang beruntung.
Begitulah barangkali pikiran kebanyakan orang. Sebab dengan kecantikan sang perempuan, akan sulit menemukan lelaki yang benar-benar layak bersanding dengannya. Secara penampilan tentu saja.

Waktu bergulir. Selama itu tidak pernah sekalipun terdengar berita tidak sedap dari pasangan, yang kini sudah dikaruniai dua orang anak. Semua takjub dengan keutuhan rumah tangga keduanya. Pertama, karena dibina ketika mereka masih sangat muda, kedua mengingat kesibukan sang istri yang kini menjadi dosen dan kerap memberi materi seminar . Seringnya berada di depan publik tanpa suami, yang diduga akan menimbulkan jarak diantara suami istri itu, sama sekali tidak terbukti.

Sesekali mereka tampil berdua. Dan siapapun akan mengagumi rumah tangga keduanya. Cukup banyak lelaki yang meski hanya bercanda, sempat mengungkapkan keirian terhadap nasib baik si suami.

“Istri cantik, rumah besar, anak-anak lucu. Komplit!”

Lainnya mengomentari, “Kalau punya istri secantik itu, saya gak bakal kemana-mana. Keluar juga males deh!”

Sebagai perempuan yang hanya melihat semua dari luar, saya pribadi mengagumi kemampuan sang istri memenej rumah tangganya. Mengagumi betapapun kesibukannya menggunung, perempuan itu tak pernah menelantarkan keluarganya. Suami dan anak-anak senantiasa nomor satu.
Kekaguman saya yang lain adalah terhadap kemampuan si perempuan mengurus dirinya. Kecantikannya tidak pernah berkurang, malah semakin bercahaya seiring umur yang bertambah.

Dalam balutan kerudung, dan kemana-mana nyaris tanpa make up, keindahannya semakin memesona. Saya salut dengan kemampuannya menjaga diri dan menepis gosip tentang rumah tangga mereka.

Ketika kemudian sang suami mulai sakit-sakitan, sang istri dengan cepat mengambil alih tanggung jawab ekonomi keluarga. Mulai dari kebutuhan sehari-hari hingga biaya sekolah anak-anak, bahkan ongkos pengobatan sang suami yang menghabiskan dana dalam jumlah besar. Adakah kesombongan di wajah cantiknya? Demi Allah, saya tidak pernah melihat hal itu tebersit sedikit saja di wajahnya yang indah. Sosok cantik itu tetap santun dan tak banyak bicara. Meladeni suami dan anak-anak seperti hari-hari sebelumnya.
Menunaikan tugas-tugasnya di depan publik tanpa keluh kesah sama sekali. Tanpa ungkapan rasa letih, karena sang suami yang lima tahun terakhir ini nyaris tak mampu bekerja untuk keluarga, disebabkan penyakit yang dideritanya.

Batin saya, pastilah lelaki itu demikian baik dan bakti kepada keluarga, hingga istrinya mencintai dan membela keluarga mereka sedemikian rupa.

Tapi kalimat yang suatu hari saya dengar dari famili perempuan terindah itu, mengguncangkan hati saya.
“Kalau saja semua orang tahu, kasihan kakak itu.
Suaminya seringkah main perempuan di belakang dia. Dari mulai pertama nikah. Tingkahnya benar-benar bikin makan hati. Keluarga besar sempat menyuruh cerai, tapi sang kakak memang luar biasa sabar!”

Hati saya berdetak.
Allah, jika itu benar. Berkatilah perempuan yang setia itu ya Allah.
Perempuan yang telah menjaga kehormatan suaminya, bahkan di atas begitu banyak luka, yang telah ditorehkan lelaki itu padanya.

Saya pribadi tidak tahu kebenaran berita itu. Sebab saya tak berani menanggapi. Hanya saja saya tiba-tiba mulai menikmati, tak hanya kecantikan dan keindahan luar yang Allah karuniakan padanya. Tapi juga sekeping hati yang luar biasa cantiknya
Catatan 2
Menikah Tanpa Memandang

“Betapa kagetnya saya. karena perempuan itu sama sekali tidak cantik!”

Saya sungguh tidak mengerti laki-laki, atau isi kepala mereka.

Seperti sosok di depan saya. Seorang kawan, yang mengajak saya dalam satu proyek event orga-nizer untuk acara parenting.

Sepanjang perjalanan ke lokasi acara, di atas bis, lelaki itu menceritakan sesuatu yang sebenarnya terbilang pribadi dan membuat saya sungkan.

Dia dan istrinya sudah lama menikah. Dari pernikahan itu telah lahir empat orang anak yang sungguh menghibur.

Setidaknya dia selalu tampak bahagia jika bercerita tentang anak-anak.

“Tapi pernikahan saya tidak bahagia,” cetusnya tiba-tiba.

Saya kaget mendengarnya. Tetapi ternyata itu belum apa-apa dibanding kekagetan saya saat mendengar kalimat berikut yang meluncur dari mulut lelaki berusia 35-an itu.

“Saya tidak pernah mencintainya.”

A…apa maksudnya?

Saya pernah bertemu istrinya dan sekejap bisa melihat kesalihan dan komitmen perempuan itu mengasuh anak anak, dengan tangannya sendiri. Keluarga mereka, meski sederhana terlihat cukup bahagia, setidaknya menurut pengamatan sepintas saya.

Lalu meluncurlah kisah dari lisan lelaki yang awalnya cukup saya hormati karena komitmennya dalam dakwah, bahkan tergolong senior di kalangan ikhwan (aktifis keislaman).

“Saya ingin ikhlas ketika menikah. Karenanya…”

Saya memasang wajah tidak bersemangat, berharap lelaki itu berhenti. Sebab rasanya tak pantas dia menyampaikan hal yang tergolong pribadi itu kepada orang luar dan perempuan pula.

“Karenanya saya memutuskan tidak melihat wajah istri ketika kami berproses.”

Lelaki itu mengalihkan pandangan ke beberapa penumpang yang naik dan membuat bis semakin penuh sesak.

“Saya baru melihatnya setelah di pelaminan.”

Ya, saya pernah mendengar kisah dari guru mengaji saya maupun beberapa teman, tentang trend menikah di mana ikhwan memutuskan tidak melihat calon istri. Pernikahan dengan guru ngaji sebagai perantara. Sama seperti mediator yang kadang dibutuhkan dalam perjodohan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan itu.

Umumnya mereka diberikan foto, jadi bisa memiliki gambaran tentang wajah calon istri. Tetapi ada juga yang bercerita, bahwa kebalikan dari situasi muslimah yang kerap tidak punya banyak pilihan hingga laki-laki yang kemudian melamar adalah satu-satunya calon yang muncul, para ikhwan justru seringkah mendapatkan banyak penawaran pada detik mereka memutuskan akan menikah.

Penawaran dan banyak alternatif foto, yang kemudian membuat sebagian aktifis muda itu mungkin agak sungkan, seperti teman di hadapan saya yang lalu berusaha ‘ikhlas’.